Ekspedisi NKRI : Dalam Bingkai Kenangan

Hidup selalu memiliki begitu banyak rahasia di setiap likunya. Terkadang, kita bagai seorang traveler yang sedang berkelana di sebuah tempat yang tak pernah dikunjungi. Menyisir tebing cadas, menapaki jalanan terjal atau pada suatu kesempatan harus menceburkan diri ke lautan. Walaupun sebenarnya tak dapat berenang. Dan, seperti itulah kehidupan.

Kisah ini pun seperti itu. Berawal dari kegiatan yang tak pernah dibayangkan. Menyuguhkan Timur Pertiwi sebagai latar belakang. Kisah ini terasa begitu lengkap. Sebuah perjalanan dari Barat ke Timur, lalu kembali ke Barat lagi. Nilai-nilai  kehidupan terasa nyata. Kolaborasi yang sempurna antara keindahan alam Indonesia beserta budayanya.

Dimulai dari Tanah Parahyangan, sebuah tempat dimana para Putra Bangsa yang terpilih dididik dan ditempa sedemikian rupa sebagai Prajurit Pilihan, Pusdikpassus Batujajar. Awalnya terasa aneh berada di tempat militer seperti itu. Dikelilingi orang-orang berseragam dengan gaya dan perawakan yang hampir mirip, hidup sehari-hari ala mereka (bangun pagi, senam, apel, dsb). Namun, seiring berjalannya waktu, aku menyadari satu hal. Hanya orang-orang terpilih yang berkesempatan berkecimpung dalam kegiatan ini. Aku sungguh bersyukur dapat menjadi bagian dari ekspedisi ini. Berdiri diantara orang-orang yang selalu berteriak, "NKRI Harga Mati!"

Ditambah lagi, ada sebuah palang peringatan yang begitu menampar sekaligus menguatkan. Kata selalu memiliki banyak arti dan bagiku, kalimat ini bermakna, "Jangan ragu dengan apa yang telah kau pilih! Majulah terus! Tak peduli seberapa berat dan susahnya. Selalu ada jalan bagi mereka yang tak mengenal kata menyerah."

Palang Peringatan di kawasan Pusdikpassus Batujajar
Palang peringatan tidak hanya berlaku untuk para Murid Baru yang dididik di sana, melainkan juga bagi kami, calon peserta Ekspedisi NKRI Koridor Maluku dan Maluku Utara. Ada beberapa yang hatinya tidak teguh pada pilihan dan berakhir kembali ke ranah masing-masing. Padahal sudah sempat hidup bersama dengan Bapak-bapak dan Abang-abang militer selama dua minggu di Situlembang, saat pembekalan. Sangat disayangkan, tapi itulah yang mereka pilih.

Akhirnya, 120 orang mahasiswa terpilih diberangkatkan ke Subkorwil masing-masing pada tanggal 24-26 Februari 2014. Kebetulan aku masuk di daftar nominatif Subkorwil 6 Tidore. Jujur, aku tidak tahu sama sekali bagaimana Tidore, baik secara demografis maupun sisi sosial budaya. Ya, selain penjelasan singkat yang diberikan oleh Tim Ahli ketika pembekalan. Selebihnya, aku hanya tahu bahwa Tidore adalah salah satu kerajaan Islam yang ada di Maluku. Saat itu, kegiatan di UKM sedang padat, jadi untuk sekedar searching seputar lokasi pun tidak sempat.

Banyak sekali hal istimewa yang aku dapatkan dari Ekspedisi ini. Salah satunya adalah kesempatan untuk menjajal "besi terbang" yang berperan sebagai background selama berada di lanud. Sebuah kesempatan langka, karena tidak semua orang dapat "menunggangi" besi ini. Dan, sekali lagi saya bersyukur karena sudah pernah menungganginya.

Pengalaman pertama menjajal "besi terbang"
Ada 14 mahasiswa di Subkorwil Tidore. Dari kiri ada Mas Erry (Biologi - UNPAD), Mamun (UNISMA Bekasi), Mas Andya (Geologi - UNPAD), Adib (UNISSULA), Mas Zefpron (TI - UNIVED Bengkulu), Mas Jowanda & Mas Lilik (UIJ), Mbak Gigi (alumni Filsafat UGM) dan Mas Eka (Unmuh Semarang). Masih ada lagi Defril, perwakilan Menwa Medan, Fadlun (KPI - UIN Walinsongo), Mbak Dyah (alumni Akbid Kendal) dan Mas Abidin. Selama kegiatan berlangsung, kami akan bekerja sesuai dengan tim masing-masing.

Ah, kembali lagi dengan pengalaman naik"besi terbang". Waktu itu aku duduk dengan Pak Tarju, Komandan Tim Peneliti yang merupakan anggota satuan PASKHAS Yogyakarta. Beliau bercerita banyak hal. Tapi, ada beberapa yang masih kuingat.

Pertama :
Pak Tarju : "Pertama kali naik pesawat ya?"
Aku : (Ngangguk sambil nyengir) "Iya, Pak."
Pak Tarju : "Takut nggak?"
Aku : "Iya, Pak. Sedikit."
Pak Tarju : "Wajar. Pasrah aja. Permasalahan hidup dan mati itu kan sudah digariskan."

Kedua
Pak Tarju : "Hawanya kerasa dingin ya?"
Aku : "Iya lah, Pak. Kan pake AC."
Pak Tarju : "Bukan. Kalau hawanya dingin begini, berarti pesawatnya lagi ada di atas perairan."
Aku : "Oh, gitu."
Pak Tarju : "Iya. Nanti kalau sudah ada diatas daratan, hawanya akan berubah jadi lebih hangat."
Aku : (Ngangguk-ngangguk sambil ngeliatin awan dari jendela)

Ketiga
Aku : "Militer itu kasihan ya, Pak. Hidupnya diatur. Dikontrak mati. Kadang nggak salah, tapi ikut digebukin."
Pak Tarju : (Senyum) "Semakin peduli dan kasihan itu tandanya jodohmu nggak akan jauh dari militer."
Aku : (Mendelik, Melongo) "Hah? Kok bisa gitu, Pak? Kan sekedar kasihan aja."
Pak Tarju : (Senyum misterius) "Lihat aja nanti."

Beberapa potongan percakapan selama di pesawat itu selalu kuingat. Ya, saat simulasi penelitian di Situlembang pun Pak Tarju sering bercerita dan memberi nasihat. Tentang agama, hidup dan banyak hal. Ada juga Pak Dana dari Korps Marinir yang bermarkas di Cilandak. Beda dengan Pak Tarju, beliau lebih sering bercerita mengenai sejarah Indonesia. Bahkan kadang aku sampai melongo mendengar setiap penuturannya.

Hmm, rasanya tidak akan pernah habis jika aku disuruh bercerita tentang pengalaman selama ekspedisi. Untuk kali ini, cukup sampai di penerbangan pertama. Selanjutnya, akan kuceritakan bagaimana keindahan salah satu ranah di Maluku Utara. Tempat dimana kami tinggal selama kurang lebih empat bulan.


Comments