Suara dari Pesisir Labengki


Sebuah perjalanan akan menjadi sia-sia. Jika kita tidak mampu untuk menahan ego dan menyalahkan banyak hal. Sebuah perjalanan akan menjadi istimewa, saat kita mampu bertahan, menemukan solusi atas permasalahan yang ada, bersama-sama.

Tidak pernah terlintas di benak akan kembali menginjakkan kaki di Sulawesi. Menelusuri bagaimana masyarakat di pulau ini menghabiskan hari-hari. Hingga akhirnya, berawal dari ajakan seorang kawan sesama relawan, aku bertandang ke Kendari. Sebuah kota kecil yang dikelilingi beberapa bukit, yang termasuk dalam wilayah administratif Provinsi Sulawesi Tenggara. Barangkali Tuhan masih merasa bahwa belum saatnya aku melakukan studi kasus terkait sosial budaya di luar Pertiwi. Barangkali Tuhan ingin aku terjun langsung di daerah yang masih simpan bagian dari darah yang mengalir di tubuh ini. Atau, barangkali Tuhan ingin menunjukkan sesuatu yang lain. Dan, di sini lah aku sekarang. Labengki, sebuah kepulauan di ujung Konawe Utara. Sebuah daerah yang sisi sosial budayanya telah terekonstruksi.

Kapal warga yang mengantarkan kami menuju Labengki

Sebelum kuceritakan lebih lanjut, mari kita bahas mengenai akses menuju ke sana. Untuk sampai di Labengki, kita harus menggunakan kapal kayu terlebih dahulu. Menghabiskan waktu sekitar 4 jam dari pusat Kota Kendari. Dengan rincian 1 jam perjalanan darat dari Kota Kendari menuju pelabuhan Tanasa. Kemudian dilanjutkan dengan perjalanan laut menggunakan kapal warga setempat selama 3 jam. Perhatian ya, ini hanya estimasi. Karena cepat atau tidaknya laju kapal ditentukan oleh kondisi lautan. Untungnya, selama perjalanan ombak cukup tenang. Sehingga laju kapal pun cukup stabil.

Setengah dari perjalanan kemarin kugunakan untuk istirahat. Karena selama dua malam sebelumnya istirahatku kurang. Ketika mesin kapal dimatikan, kami disambut dengan pemandangan yang cukup indah. Air laut yang jernih di sekitar dermaga dengan dua gradasi, yaitu toska dan biru tua. Terdapat beberapa rumah tidak jauh dari dermaga. Agak mirip dengan dusun Loleo, sebuah desa di Halmahera yang pernah kukunjungi pada 2014 lalu.

Menjadi bagian dari Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Lasolo telah memberikan wajah baru bagi Labengki. Agak berbeda dengan daerah konservasi yang pernah kukunjungi. Tempat ini tidak benar-benar sepi. Setidaknya ada 100 KK yang mendiami pulau ini. Jumlah yang cukup banyak di sebuah wilayah konservasi. Ngomong-ngomong soal konservasi, sebagian teman sempat bertanya terkait hal ini. Kira-kira begini, "Kalau memang masuk wilayah konservasi, kenapa ada masyarakat yang menghuni pulau ini?"

Jadi begini kawan-kawan, wilayah konservasi dikelola dengan sistem zonasi, yang berarti ada wilayah-wilayah tertentu yang diperbolehkan untuk dihuni. Sebagai bentuk toleransi atas masyarakat yang telah bermukim di tempat tersebut, sebelum SK penetapan wilayah konservasi keluar. Namun, ada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang harus ditaati oleh penduduk setempat. Jika melanggar, otomatis sanksi akan diberikan. Penetapan sebuah lokasi menjadi wilayah konservasi pun tidak asal-asalan. Harus ada indikator tertentu. Contohnya TWA Teluk Lasolo. Wilayah ini memiliki perairan yang sungguh kaya, terutama bagi populasi Kima (Kerang Raksasa). Sayangnya, masyarakat setempat belum cukup memahami seberapa besar peran Kima bagi ekosistem lautan.

Dermaga Labengki Kecil

Syukur Alhamdulillah, setelah dilakukan penyuluhan secara berkelanjutan, masyarakat setempat mulai memahami mengenai hal tersebut. Sehingga perburuan Kima pun dihentikan. Bahkan anak-anak pun sudah memahami bahwa hal tersebut dilarang. Akan tetapi, dijadikannya Labengki sebagai kampung wisata telah meningkatkan biaya hidup di sini. Tidak hanya itu, pada hari-hari pertama kami datang ke sini pun, sambutan warga belum cukup hangat. Mereka menganggap kami sebagai tamu, bukan lagi saudara yang datang dari jauh. Hanya anak-anak saja yang antusias menyambut kami. Membantu mengangkut barang-barang donasi.

Karena sudah menjadi kampung wisata, kami pun tidak lagi tinggal di rumah warga, seperti yang biasa kulakukan. Di sini kami tinggal di tiga homestay yang sudah dipersiapkan oleh tim teknis lapangan. Jujur saja ini menciptakan sekat. Aku pun tidak leluasa melakukan analisis sosial seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, aku tidak kehabisan akal. Jika tidak dapat mengorek cukup informasi dengan penduduk setempat, maka aku masih dapat bertukar informasi dengan kawan-kawan yang datang dari berbagai daerah.

Dan ya, perjalanan kali ini bukan hanya tentang Labengki, melainkan para anak muda dari berbagai generasi. Daripada menghabiskan waktu untuk mendapatkan spot foto yang bagus, aku lebih suka berbagi cerita dengan para relawan lainnya. Dengan begitu aku bisa mendengar lebih banyak mengenai hal-hal yang belum kuketahui. Termasuk memahami bagaimana setiap generasi memiliki keunikan dan kelebihannya sendiri. Ini adalah sebuah kebiasaan yang selalu kulakukan jika sedang mengikuti kegiatan sosial. Itulah kenapa dalam kegiatan seperti ini aku tidak memiliki cukup banyak foto. Cukup beberapa saja, tapi meninggalkan kesan mendalam.

Mereka beragam pemikiran, itu wajar dan spesial.

Terbiasa menjadi orang lapangan secara tidak langsung memberikan tuntutan agar aku cepat tanggap dalam menghadapi berbagai permasalahan. Dan sekali lagi, mereka mengajari tentang sebuah permasalahan yang baru. Tentang bagaimana menyatukan berbagai pemikiran, berbagai perbedaan dalam sebuah wadah dengan rasa nano nano, tapi meninggalkan kesan yang tidak terlupakan. Iya, dalam kegiatan kemarin aku harus menyatukan anak-anak generasi milennial, generasi pemikir keras, dan generasi yang tidak masuk dalam kedua kategori. Sejujurnya agak susah dan dipenuhi pro kontra, tapi alhamdulillah berakhir bahagia semua. Tentunya ini semua tidak luput dari bantuan Galang selaku Koordinator Umum, Ozy, partner sesama fasilitator serta Kak Fadly dan tim sebagai teknis lapangan.

Sempat merasa tidak disambut di awal, tapi nyatanya alam sekitar pun memeluk kami dengan hangat. Sehari sebelum pulang, rintik hujan membasahi Labengki di pagi hari. Hujan pertama setelah setahun lebih dilanda kemarau panjang. Menurut kepercayaan setempat yang pernah kudengar, jika kita mengunjungi sebuah pulau lalu hujan datang, itu adalah pertanda baik. Semoga hal ini juga berlaku di Labengki. Semoga kedatangan kami membawa berkah bagi semua pihak. Tidak hanya kami yang berkegiatan, tapi juga bagi masyarakat setempat yang ternyata memperhatikan kami dalam diam.

Dan aku masih punya satu cerita penutup. Pada malam terakhir sebelum meninggalkan Labengki, ketika bersalam-salaman dengan warga, ada dua orang nenek yang memegang tanganku erat dan berkata, "Ingat-ingat kami di sini!" Seketika itu juga aku menahan air mata agar tidak jatuh. Aku tidak ingin menghiasi malam bahagia itu dengan air mata. Kubalas genggaman tangan itu seraya berkata, "Pasti, Nek. Insyallah suatu hari nanti kami akan kembali."

Youcan Social Expedition Labengki Team

Kini yang aku tahu adalah, Labengki bukan lagi sebuah kampung wisata, melainkan salah satu rumah yang akan menantiku untuk pulang. Ralat, bukan hanya aku, tapi seluruh tim Youcan Social Expedition Labengki. Barangkali banyak berita simpang siur yang didengar. Tapi kalian hebat, karena bertahan sampai akhir. Niat tulus kalian tidak ternodai. Jadi, kuucapkan terima kasih.

Comments

  1. Terharu bacanya, sehat selalu mba diyah😊

    ReplyDelete
  2. Sukaa bangeet... 😘😘😭😭😊😊-MUIZ.

    ReplyDelete

Post a Comment