Satu-satunya Hal yang Kuingat Saat Hujan Adalah......Kamu!

Hujan datang tiba-tiba. Menyajikan sekilas bayangan dirimu dalam rinainya.
Aku tahu mendung telah menghiasi angkasa sejak senja belum menyapa. Seiring dengan senja yang kembali ke peraduan, aku mulai menggelar tikar. Ya, inilah salah satu rutinitasku. Berjualan di setiap akhir pekan. Bertolak belakang dengan rutinitas orang kebanyakan. Mayoritas akan menghabiskan akhir pekan dengan orang-orang terdekat. Entah sahabat, pacar atau keluarga. Rutinitas itu tidak lagi menjadi agendaku. Terakhir, ketika aku masih di Halmahera. Tentunya saat bersamamu.

Sejak awal, kau telah cukup mengerti bahwa aku akrab dengan masalah ekonomi. Itulah yang membedakan aku dengan gadis lain. Aku tidak mempunyai cukup materi untuk mempercantik diri. Aku tipikal pemilih. Maka dari itu, selain masalah ekonomi, aku pun tidak akan membeli apa yang menurutku tidak penting. Lantas, apakah kemudian aku memilih seseorang berdasarkan materi?
Tidak. Aku bukan mereka yang seenaknya meminta uang pada pasangan. Tidak ada dalam kamus hidupku hal yang seperti itu. Kau pun cukup mengerti bahwa aku seorang yang mandiri. Walaupun terkadang merasa tak sanggup, tapi aku selalu berusaha untuk tidak menyusahkan orang lain. Terlebih kamu. Bukanlah aku, jika harus menyandarkan hidup pada pasangan. Saat aku merasa mampu, maka aku akan berusaha meringankan bebanmu. Oleh karena itu, aku tidak pernah melibatkanmu dalam urusanku. Alasannya sederhana, belum saatnya kamu memenuhi kewajibanku.

Memilih untuk berjualan di pinggir jalan itu bukan sebuah keinginan. Aku tetap ingin menjaga nama baikmu, walaupun kita jarang bertemu. Walaupun orang-orang yang datang tak mengenalmu. Namun, untuk saat ini, hanya ini yang mampu kulakukan. Mungkin juga, ini adalah bagian dari garis kehidupan. Terlebih, hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa bertemu denganmu. Karena aku tidak mungkin memintamu untuk menanggung tiket Surabaya-Jakarta. Aku masih mampu membelinya. Aku rela melakukan apa saja. Meskipun nantinya hanya ada pertemuan singkat.

Tadi, belum cukup lama aku menggelar tikar. Sampai hujan tiba-tiba datang mengguyur. Sempat kesal sejenak ketika memindahkan barang di bawah pohon yang tidak cukup meneduhkan. Namun, kembali berpikir. Kepada siapa aku harus marah? Kepada siapa aku akan meminta pertanggungjawaban atas semua ketidakadilan? Tuhan? Pantaskah?

Akhirnya, aku berdiam diri di bawah pohon. Sendiri. Menatap rintik yang tertutup malam. Dan, kenangan tentang kita dan hujan terputar dalam angan. Rindu ini belum sempat terlabuhkan. Kini, harus menerima kenyataan untuk melepaskan. Kau tahu, aku tak pernah benar-benar sanggup menjalaninya. Namun, sampai kapan aku sanggup menutup mata bahwa kamu sebenarnya tak pernah mencintaiku apa adanya?

Seandainya kamu bisa mengalahkan egomu sedikit saja...

Aku rindu saat terlelap diatas veldbedmu, ketika hujan mengguyur poskotis kita..
Aku rindu menikmati rinai hujan saat kita kembali dari weda..
Aku rindu hangatnya pelukanmu yang selalu mampu menepis setiap gundah..

Tadi, saat hujan kembali mengguyur, rasanya ingin sekali mengirim pesan singkat padamu. Memberi penjelasan tentang kejadian kemarin. Menjelaskan bahwa aku sedang PMS sehingga mengirimkan pesan bodoh seperti itu. Lalu, menanyakan tentang kegiatanmu hari ini. Pertanyaan rutin. Bukan karena aku terlalu kepo. Aku hanya ingin tahu seberapa padat kegiatanmu hari ini. Aku hanya ingin tahu, apakah makanmu sudah cukup teratur. Tepatnya, aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Berlebihan kah?
Sayangnya, aku tidak cukup berani melakukannya. Jadilah aku berdiam seorang diri di bawah pohon. Menunggu adikku yang tak kunjung datang.

Mataku sempat terpejam. Mencoba mendengar alunan lagu yang diciptakan hujan. Detik itu juga, aku menitipkan sebuah pesan. Pesan yang sama ketika kamu berada di Weda. Aku berharap, keajaiban itu masih ada.

Rasanya ingin sekali mengirim pesan singkat yang mengatakan bahwa aku sangat merindukanmu. Masih layakkah? Setelah aku menyuruhmu untuk menjauh, pergi dari kehidupanku.

Aku cukup terluka dengan pernyataan yang terlontar. Aku cukup terluka karena kamu tak juga memberi penjelasan. Kamu tak juga memberi pengertian bahwa aku cukup berarti dalam hidupmu. Sebegitu tak layaknya kah?

Andai egomu bisa kau runtuhkan. Sedikit saja....

Comments