Karena yang melihat belum tentu merasakan. Dan (hanya) yang merasakan, yang benar-benar memahami.
Barangkali seperti inilah hidup itu ditakdirkan. Bahwa ada kalanya orang-orang yang tumbuh bersama kita sejak kecil, tidak cukup memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal, boleh jadi mereka memperhatikan setiap hal yang terjadi pada kita. Mulai hal-hal kecil sampai peristiwa-peristiwa besar. Di sisi lain, orang lain yang bahkan tidak cukup lama mengenal kita, justru lebih memahami kita di berbagai hal.
Salah seorang ilmuwan mengungkapkan, bahwa keberadaan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman hidup yang dimilikinya. Itulah kenapa orang-orang dengan pengalaman hidup yang sama akan merasakan kecocokan dan memiliki rasa empati lebih besar terhadap satu sama lain. Saya pun membenarkan pendapat tersebut, karena saya pernah mengalami hal yang sama.
Memang benar jika saya suka sekali bepergian. Namun saya tidak pernah melupakan orang-orang yang memiliki ikatan darah dengan saya. Ketika kembali, saya selalu berusaha untuk menjadi berguna untuk mereka. Karena saya ingat betul, mereka sering mengulurkan tangan ketika keadaan saya tidak cukup baik. Hidup dalam keadaan seperti ini tidak menyenangkan. Sampai pada suatu hari, ada kejadian yang benar-benar membuat saya kecewa. Dan kejadian seperti itu berulang-ulang. Akhirnya saya sadar, saya harus menjadi lebih mandiri dan sebisa mungkin tidak meminta bantuan orang lain. Ini bukan hanya sekedar uluran tangan, tapi ikatan berharga yang seharusnya dijaga. Menyakitkan memang, ketika mengetahui bahwa seseorang yang seharusnya dapat membantu, namun tidak berkeinginan untuk mengulurkan tangan.
Meskipun begitu, saya tidak pernah lupa akan kebaikan yang diberikan orang lain. Saya pun tidak membenci siapapun yang memilih tidak mengulurkan tangan, ketika saya sungguh-sungguh membutuhkan. Bukankah hak setiap orang untuk menentukan apapun yang ingin dilakukan? Kadang, pikiran-pikiran negatif muncul untuk membalas setiap hal buruk yang pernah menimpa. Namun, sekali lagi, hobi saya telah mengajari untuk lebih lapang dada, lebih banyak memaafkan daripada mendendam.
Bisa jadi hal itu yang menjadi alasan saya untuk tidak berhenti melakukan sebuah perjalanan. Mengunjungi lebih banyak tempat di berbagai belahan dunia. Membaca lebih banyak buku agar dapat memahami bahwa manusia itu memiliki begitu banyak sudut pandang akan kehidupan. Dan, melihat lebih banyak film, yang secara tidak langsung menggambarkan bagaimana hidup berjalan. Hobi-hobi itu juga lah yang kemudian mengajarkan saya untuk tidak membenci keluarga saya. Bahwa keadaan yang sulit memang seringkali membuat seseorang frustasi, sehingga dapat melakukan hal-hal yang tidak seharusnya, serta melontarkan kata-kata yang menyakitkan.
Sungguh, sejujurnya saya tidak pernah benar-benar membenci ibu saya. Walaupun sejak kecil banyak hal-hal buruk yang menimpa saya. Walaupun seringkali kata-kata yang terlontar begitu tidak pantas untuk didengar, hingga akhirnya saya memilih untuk diam. Saya tidak ingin menambah keributan. Karena saya ingat betul bagaimana semasa kecil, ketika keadaan kami cukup baik, beliau selalu memberikan yang terbaik untuk saya. Kini, ketika kondisi kami tidak kunjung membaik, haruskah semua berubah seperti ini?
Begitupun dengan ayah saya. Mungkin dulu saya pernah menyalahkannya atas apa yang menimpa saya. Hal-hal buruk yang pernah saya sebut karma. Namun lambat laun saya sadar, barangkali memang karma, mengapa tidak mengikhlaskan saja? Toh apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Melupakan kenangan buruk pun tidak mudah. Tapi masa depan milik siapa saja bukan. Masa depan adalah misteri, hak paten ilahi. Lantas kenapa tidak menerima dan melakukan lebih banyak hal yang berguna lagi?
Alasan-alasan itulah yang akhirnya membuat saya memilih untuk melakukan perjalanan. Lebih jauh lebih bagus. Karena jarak itu yang dapat mendekatkan kami. Keterbatasan itu yang akhirnya membuat kami saling berbagi cerita. Terlebih, saya akan mendapatkan minimal satu pelajaran hidup dari tempat yang saya singgahi. Selain itu, tentu saya bisa berbagi hal-hal yang bermanfaat untuk mereka. Bukankah hal seperti itu lebih menyenangkan, daripada hanya menyimpan dendam terlalu lama?
Ada kalanya ketika pulang, saya ingin berlama-lama di rumah. Seperti teman-teman kebanyakan. Tapi saya sadar, waktu istirahat di rumah tidak banyak. Karena pemikiran saya dan ibu yang jungkir balik tentu akan menimbulkan masalah kembali. Padahal, saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu, untuk mengganti hari-hari yang saya habiskan di luar sana. Agar dapat melihat kedua orang tua dan adik saya melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, sekali lagi saya sadar, ibu saya menyimpan terlalu banyak kebencian. Entah karena masa kecilnya, masa mudanya, atau kondisi kami saat ini. Kebencian yang dibiarkan menumpuk terlalu lama, yang seringkali muncul ketika frustasi datang. Kebencian yang tanpa disadari telah membentuk kepribadiannya seperti saat-saat sulit yang pernah dialami. Kebencian yang akhirnya menimbulkan kecemburuan, karena saya melakukan lebih banyak hal daripada masanya.
Ah, andai saja ibu mau berdamai dengan keadaan, berdamai dengan diri sendiri. Lebih banyak memaafkan dan tidak perlu mengungkit hal-hal yang menyakitkan. Andai saja bisa. Bukankah bangunan ini bisa lebih disebut rumah?
Saya sadar, saya belum bisa cukup membahagiakan mereka. Ya, karena sejauh ini yang menjadi tuntutan adalah materi. Sekalipun seringkali berkata tidak ingin, namun sebenarnya ingin. Karena mata tidak akan berhenti melihat dan membandingkan. Sedang pikiran ingin memiliki hal yang sama.
Maaf, karena sejauh ini saya hanya bisa mendoakan kalian di setiap sujud. Sekalipun sujud itu belum sempurna. Maaf, karena hanya itu yang bisa saya lakukan. Agar ayah dan ibu senantiasa diberikan kesehatan, kebahagiaan dan surga-Nya.
Sidoarjo, 19 Januari 2017
Barangkali seperti inilah hidup itu ditakdirkan. Bahwa ada kalanya orang-orang yang tumbuh bersama kita sejak kecil, tidak cukup memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal, boleh jadi mereka memperhatikan setiap hal yang terjadi pada kita. Mulai hal-hal kecil sampai peristiwa-peristiwa besar. Di sisi lain, orang lain yang bahkan tidak cukup lama mengenal kita, justru lebih memahami kita di berbagai hal.
Salah seorang ilmuwan mengungkapkan, bahwa keberadaan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman hidup yang dimilikinya. Itulah kenapa orang-orang dengan pengalaman hidup yang sama akan merasakan kecocokan dan memiliki rasa empati lebih besar terhadap satu sama lain. Saya pun membenarkan pendapat tersebut, karena saya pernah mengalami hal yang sama.
Memang benar jika saya suka sekali bepergian. Namun saya tidak pernah melupakan orang-orang yang memiliki ikatan darah dengan saya. Ketika kembali, saya selalu berusaha untuk menjadi berguna untuk mereka. Karena saya ingat betul, mereka sering mengulurkan tangan ketika keadaan saya tidak cukup baik. Hidup dalam keadaan seperti ini tidak menyenangkan. Sampai pada suatu hari, ada kejadian yang benar-benar membuat saya kecewa. Dan kejadian seperti itu berulang-ulang. Akhirnya saya sadar, saya harus menjadi lebih mandiri dan sebisa mungkin tidak meminta bantuan orang lain. Ini bukan hanya sekedar uluran tangan, tapi ikatan berharga yang seharusnya dijaga. Menyakitkan memang, ketika mengetahui bahwa seseorang yang seharusnya dapat membantu, namun tidak berkeinginan untuk mengulurkan tangan.
Meskipun begitu, saya tidak pernah lupa akan kebaikan yang diberikan orang lain. Saya pun tidak membenci siapapun yang memilih tidak mengulurkan tangan, ketika saya sungguh-sungguh membutuhkan. Bukankah hak setiap orang untuk menentukan apapun yang ingin dilakukan? Kadang, pikiran-pikiran negatif muncul untuk membalas setiap hal buruk yang pernah menimpa. Namun, sekali lagi, hobi saya telah mengajari untuk lebih lapang dada, lebih banyak memaafkan daripada mendendam.
Bisa jadi hal itu yang menjadi alasan saya untuk tidak berhenti melakukan sebuah perjalanan. Mengunjungi lebih banyak tempat di berbagai belahan dunia. Membaca lebih banyak buku agar dapat memahami bahwa manusia itu memiliki begitu banyak sudut pandang akan kehidupan. Dan, melihat lebih banyak film, yang secara tidak langsung menggambarkan bagaimana hidup berjalan. Hobi-hobi itu juga lah yang kemudian mengajarkan saya untuk tidak membenci keluarga saya. Bahwa keadaan yang sulit memang seringkali membuat seseorang frustasi, sehingga dapat melakukan hal-hal yang tidak seharusnya, serta melontarkan kata-kata yang menyakitkan.
Sungguh, sejujurnya saya tidak pernah benar-benar membenci ibu saya. Walaupun sejak kecil banyak hal-hal buruk yang menimpa saya. Walaupun seringkali kata-kata yang terlontar begitu tidak pantas untuk didengar, hingga akhirnya saya memilih untuk diam. Saya tidak ingin menambah keributan. Karena saya ingat betul bagaimana semasa kecil, ketika keadaan kami cukup baik, beliau selalu memberikan yang terbaik untuk saya. Kini, ketika kondisi kami tidak kunjung membaik, haruskah semua berubah seperti ini?
Begitupun dengan ayah saya. Mungkin dulu saya pernah menyalahkannya atas apa yang menimpa saya. Hal-hal buruk yang pernah saya sebut karma. Namun lambat laun saya sadar, barangkali memang karma, mengapa tidak mengikhlaskan saja? Toh apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Melupakan kenangan buruk pun tidak mudah. Tapi masa depan milik siapa saja bukan. Masa depan adalah misteri, hak paten ilahi. Lantas kenapa tidak menerima dan melakukan lebih banyak hal yang berguna lagi?
Alasan-alasan itulah yang akhirnya membuat saya memilih untuk melakukan perjalanan. Lebih jauh lebih bagus. Karena jarak itu yang dapat mendekatkan kami. Keterbatasan itu yang akhirnya membuat kami saling berbagi cerita. Terlebih, saya akan mendapatkan minimal satu pelajaran hidup dari tempat yang saya singgahi. Selain itu, tentu saya bisa berbagi hal-hal yang bermanfaat untuk mereka. Bukankah hal seperti itu lebih menyenangkan, daripada hanya menyimpan dendam terlalu lama?
Ada kalanya ketika pulang, saya ingin berlama-lama di rumah. Seperti teman-teman kebanyakan. Tapi saya sadar, waktu istirahat di rumah tidak banyak. Karena pemikiran saya dan ibu yang jungkir balik tentu akan menimbulkan masalah kembali. Padahal, saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu, untuk mengganti hari-hari yang saya habiskan di luar sana. Agar dapat melihat kedua orang tua dan adik saya melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, sekali lagi saya sadar, ibu saya menyimpan terlalu banyak kebencian. Entah karena masa kecilnya, masa mudanya, atau kondisi kami saat ini. Kebencian yang dibiarkan menumpuk terlalu lama, yang seringkali muncul ketika frustasi datang. Kebencian yang tanpa disadari telah membentuk kepribadiannya seperti saat-saat sulit yang pernah dialami. Kebencian yang akhirnya menimbulkan kecemburuan, karena saya melakukan lebih banyak hal daripada masanya.
Ah, andai saja ibu mau berdamai dengan keadaan, berdamai dengan diri sendiri. Lebih banyak memaafkan dan tidak perlu mengungkit hal-hal yang menyakitkan. Andai saja bisa. Bukankah bangunan ini bisa lebih disebut rumah?
Saya sadar, saya belum bisa cukup membahagiakan mereka. Ya, karena sejauh ini yang menjadi tuntutan adalah materi. Sekalipun seringkali berkata tidak ingin, namun sebenarnya ingin. Karena mata tidak akan berhenti melihat dan membandingkan. Sedang pikiran ingin memiliki hal yang sama.
Maaf, karena sejauh ini saya hanya bisa mendoakan kalian di setiap sujud. Sekalipun sujud itu belum sempurna. Maaf, karena hanya itu yang bisa saya lakukan. Agar ayah dan ibu senantiasa diberikan kesehatan, kebahagiaan dan surga-Nya.
Sidoarjo, 19 Januari 2017
Comments
Post a Comment