Jika berbicara tentang
Papua, khususnya Papua Barat, pasti yang terlintas pertama kali di benak setiap
orang adalah Raja Ampat. Kepulauan yang terkenal dengan warna laut biru toska
ini telah menjadi aset Indonesia, bahkan dunia. Hal ini didukung dari kekayaan
bawah laut serta pengelolaan yang cukup baik. Pihak asing pun sudah turut andil
untuk menjaga kekayaan tersebut. Terbukti dari adanya beberapa NGO
internasional yang ikut mengelola kawasan ini seperti Conservation International (CI) dan Nature Conservacy.
Akan tetapi, kadang
keindahan yang sudah terekspose menyilaukan penglihatan. Membuat kita lupa
bahwa ada banyak hal indah yang tersimpan di bumi Pertiwi yang patut dijaga
juga. Jika Sorong memiliki kepulauan Raja Ampat, maka Fakfak juga memiliki
kepulauan yang tidak kalah cantik bernama Ugar. Kepulauan yang masuk di wilayah
administratif Distrik Kokas ini memiliki gugusan pulau kecil yang mirip dengan kepulauan
Wayag di Raja Ampat. Lautnya pun jernih lengkap dengan gradasi warna yang
indah. Butiran pasir lembut juga bisa ditemui di bibir pantai pulau-pulau kecil
maupun di pulau Ugar sendiri.
| Salah satu bibir pantai di Pulau Ugar (Photo by Meilando WS) |
Akses menuju kepulauan ini
cukup mudah. Jalan menuju ke sana juga sudah bagus berupa jalanan aspal. Jarak
tempuh dari kota Fakfak sekitar 45 km atau ± 2 jam dengan menggunakan kendaraan
bermotor. Jika tidak ada kendaraan pribadi, kita bisa menggunakan kendaraan
umum jalur Fakfak-Kokas dengan tarif Rp 30.000 per orang. Setelah sampai di
Pelabuhan Kokas, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan transportasi laut.
Transportasi yang tersedia
adalah long boat milik warga Kampung
Ugar. Tarifnya pun cukup murah sebesar Rp 30.000 per orang. Tarif tersebut bisa
jauh lebih murah lagi jika kita sudah kenal dengan penduduk setempat.Waktu
tempuh dari Pelabuhan Kokas ke Kampung Ugar sekitar 30-45 menit tergantung
kondisi lautan. Dikarenakan kepulauan ini berada di dekat Laut Banda dengan ombak
yang cukup bergelombang pada waktu-waktu tertentu.
Perlu diketahui, di
kepulauan ini hanya ada satu pulau yang berpenghuni, yaitu Pulau Ogasmuni.
Pulau ini memiliki satu kampung bernama Kampung Ugar. Sesampainya di kampung
ini, kita akan disambut oleh warga asli Suku Kokoda yang memang sudah mendiami
pulau ini sejak dulu. Kampung dengan jumlah penduduk 276 orang ini mayoritas
bekerja sebagai nelayan. Sebagai catatan, untuk para pendatang yang mengunjungi
kepulauan ini wajib untuk mengikuti upacara adat sebelum melakukan eksplorasi
lebih lanjut.
Upacara ini dilakukan dengan
serangkaian ritual adat yang dipimpin oleh tetua adat setempat. Setelah itu,
kita akan mengikuti tetua adat mengelilingi tempat-tempat keramat. Dimulai dari
mengikat tali merah di akan pohon beringin yang ada di dekat dermaga. Kemudian
dilanjutkan dengan keliling di dua pohon kayu besi yang ada di belakang kampung
serta sumber mata air yang diapit dua pohon tersebut.
Konon, seluruh kepulauan
yang ada di tempat ini masih tergolong tempat sakral. Oleh karena itu,
masyarakat setempat benar-benar menjaga kawasan tersebut. Mereka tidak berani
menebang pohon atau menangkap ikan sembarangan. Tetua adat pun menambahkan
bahwa upacara yang dilakukan bertujuan untuk memperkenalkan orang baru yang
bertamu di kepulauan ini. Diharapkan dengan begitu para pendatang dijauhkan
dari hal-hal yang tidak diinginkan. Selanjutnya, bagi para pendatang bisa
memanfaatkan rumah warga sebagai home
base. Warga setempat tidak menyebutkan tarif tertentu, tapi kita bisa
membayarnya dalam bentuk tali asih.
Jika ditelusuri lebih
lanjut, kearifan lokal tersebut memiliki dampak yang baik bagi lingkungan yang ada
di tempat ini. Kepercayaan masyarakat yang meyakini tentang kesakralan tempat
ini secara tidak langsung telah menjaga keanekaragaman hayati yang tersimpan di
kepulauan ini.
Berbagai jenis satwa,
khususnya aves, ditemukan berterbangan dari satu pulau ke pulau yang lain.
Terlihat rangkong, kakatua jambul kuning, gagak dan juga elang laut. Aneka
anggrek juga ditemukan diantara karang-karang di perengan bukit karst. Selain
itu, ditemukan juga tanaman obat dalam jumlah banyak di pinggiran maupun dalam
hutan. Faktanya, kekayaan tersebut didukung dengan kawasan hutan yang memang
masih cukup rapat dan terjaga.
Tidak hanya itu, sekalipun
masyarakat setempat bekerja sebagai nelayan, pengelolaan hasil laut yang
diterapkan masih tradisional. Masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan cara
tangkap ikan yang dapat merusak ekosistem bawah laut. Sistemnya pun diatur oleh
tetua adat yang biasa disebut dengan sasi.
Dengan menggunakan sistem ini, masyarakat hanya boleh menangkap ikan pada
waktu-waktu tertentu. Ini bertujuan untuk menjaga kapasitas dan kualitas hasil
tangkapan masyarakat. Kearifan lokal yang telah disebutkan menunjukkan tingkat
kepedulian masyarakat yang cukup tinggi terhadap kelestarian lingkungan yang
ada di sekitarnya. Di samping itu, kehangatan masyarakat setempat juga menambah
kesan tersendiri ketika berkunjung di pulau ini.
Satu hal yang perlu
diteladani dan diterapkan adalah tingkat kepedulian terhadap lingkungan yang
tercermin dari kearifan lokal setempat. Diharapkan meskipun nantinya Ugar
dikenal oleh masyarakat luar Fakfak, hal tersebut masih terus terjaga. Apalagi
sistem sasi yang diterapkan. Alangkah baiknya jika sistem tersebut bisa
diterapkan di berbagai tempat yang ada di Kabupaten Fakfak. Terkait dengan
Fakfak yang dikenal dengan hasil lautnya.
Comments
Post a Comment