Mengarungi Sebuah Perjalanan bersama "Rindu" (Part 1)

“Wahai laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan jarak kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.” (Ahmad Karaeng, Hal 495)

Blurb atau ringkasan yang ada di sampul belakang memang menjadi alasan saya membeli novel ini. Ditambah lagi beberapa kalimat yang sempat di-posting di Fan Page Tere Liye. “Sepertinya bagus,” batin saya waktu itu. Setelah membeli, saya sempat terkejut. Di sampul depan tertera bahwa buku ini masuk kategori “Buku Islam Terbaik” versi Islamic Book Award 2015. Padahal, saya kira ini adalah novel romansa begitu tahu judulnya.

Novel ini menyuguhkan tentang lima kisah yang berbeda, namun masih saling berkaitan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang penuh kerinduan. Lima kisah yang akhirnya semakin menyadarkan saya bahwa takdir Tuhan bukan untuk dibantah, diubah, dipertanyakan, tapi dijalani. Kisah-kisah yang sungguh menginspirasi. Dan, Blitar Holland adalah saksi bisu mengenai kisah-kisah yang mereka ceritakan. Ya, Blitar Holland. Sebuah kapal lintas benua yang biasa digunakan masyarakat Indonesia melakukan perjalanan haji. Nahkoda dan kelasi di kapal ini berkebangsaan Belanda, namun benci penjajahan. Sudut pandang yang cukup menarik.

Kisah pertama menceritakan tentang masa lalu seorang cabo, pelacur di zaman penjajahan Belanda. Menjadi seorang cabo bukan sebuah impian. Gadis malang keturunan Cina itu bernasib malang karena kebiasaan buruk Ayahnya. Suatu hari, ayahnya kalah judi dan dia pun dibawa untuk kemudian dijadikan cabo di Batavia. Gadis itu bernama Ling Ling yang kemudian dikenal dengan nama Bonda Upe sejak berada di Blitar Holland. Upe memilih untuk menjadi cabo dengan harapan suatu hari bisa keluar dari tempat hiburan tersebut. Dan, setelah sekian lama menunggu, akhirnya kesempatan itu datang. Sebelumnya dia sempat kabur namun tertangkap dan dipukuli tanpa ampun.

Setelah keluar dari tempat tersebut, perlahan secercah harapan menghampiri Upe melalui kehadiran Enlai, teman sekaligus tetangganya sejak kecil. Seseorang yang sejak lama telah menyayangi gadis itu. Berkat ketulusan Enlai dan niat baik Upe, dia pun bertekad untuk memperbaiki diri. Mengenal agama yang ia yakini lebih dekat lagi. Termasuk melakukan perjalanan jauh menuju tanah suci. Namun, masa lalu kadang suka menyergap dengan tiba-tiba. Merusak usaha yang telah dilakukan oleh seseorang, sehingga kemudian semua terlihat sia-sia. Begitulah yang dirasakan Upe ketika dia bertemu “kawan lama” saat kapal singgah di Batavia.

“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu.” (Ahmad Karaeng, Hal 312)
“Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin.” (Ahmad Karaeng, Hal 315)

Pengalaman hidup Upe bukanlah jalan yang mudah. Rasa takut, cemas dan berbagai hal semacam itu telah menghantuinya sepanjang usia. Namun, memahami apa yang dikatakan Gurutta, dia pun mengerti bahwa masa lalu telah menjadi bagian hidupnya. Tidak bisa dihapus begitu saja. Tapi, setidaknya dia sudah berusaha untuk memperbaiki diri dan berserah pada ketetapan sang ilahi. Seperti nasihat Gurutta kepadanya.

Kisah berlanjut. Kali ini datang dari seseorang yang terlihat bahagia, tapi menyimpan kebencian yang begitu besar di dalam hatinya. Daeng Andipati. Dia adalah seorang saudagar muda yang cukup terkenal di Makassar. Dia sudah menikah dan memiliki dua putri menggemaskan, Anna dan Elsa. Setiap orang yang melihatnya tentu akan berpikir, alangkah bahagia hidupnya. Sayangnya, setiap orang ditakdirkan dengan permasalahan hidup masing-masing.

Rupanya Andipati anak dari seorang saudagar kaya dan terkenal di masa itu. Keluarganya merupakan keluarga terpandang. Masyarakat pun selalu membicarakan keluarganya. Padahal yang dialami semasa muda tidaklah semudah yang dibayangkan orang lain. Bapaknya temperamental. Keras dan suka main pukul kepada ibunya. Saudara-saudaranya yang tidak tahan dengan itu semua, memutuskan untuk meninggalkan rumah usai sekolah. Andipati pun sama. Dia memilih untuk melanjutkan sekolah ke Belanda.
Andipati menyimpan kebencian yang begitu besar terhadap bapaknya atas semua perlakuan yang diberikan. Kebencian yang menumpuk hingga rasanya sulit untuk memaafkan.

“Orang tua itu sudah mati, Gori. Tubuhnya sudah jadi tulang-belulang di dalam tanah. lihatlah, sudah lima tahun orang tua itu mati...dan tidak setetes pun kebencian di hatiku berkurang. Sebaliknya, tambah pekat, tambah banyak.” (Daeng Andipati, Hal 363)

Sejauh yang saya pahami, entah menurut agama yang saya yakini atau melalui perjalanan-perjalanan yang sudah terlewati, kebencian itu memang berat. Sungguh menyakitkan, baik untuk yang dibenci maupun yang membenci. Seperti yang dikatakan Ahmad Karaeng (372),

“Selalu menyakitkan saat kita membenci sesuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya kita sayangi.”
“Ada orang-orang yang kita benci. Ada pula orang-orang yang kita sukai. Hilir-mudik datang dalam kehidupan kita. Tapi apakah kita berhak membenci orang lain? Sedangkan Allah sendiri tidak mengirimkan petir segera?” (373)
“Ketahuilah, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain.” (373)

Dan, berdamai adalah cara terbaik untuk mengurangi kebencian di hati. Karena saat kita memutuskan memaafkan orang lain itu bukan soal salah atau benar, melainkan karena kita berhak mendapatkan damai di hati (374). Hal terakhir yang perlu dilakukan adalah membuka lembaran baru. Tidak perlu mengungkit yang sudah terjadi. Karena itu hanya akan mengingatkan kita akan hal-hal yang menyakiti hati. Buka lembaran baru, nikmati hidup yang telah dianugerahkan untuk kita saat ini.

Dua kisah pembuka ini adalah tentang takdir hidup yang diberikan hidup. Bahwa takdir, bagaimanapun jalannya, adalah hal paten Allah untuk menggariskannya seperti apa. Perbanyak melakukan kebaikan, kurangi melakukan hal yang mungkin dapat menyakiti orang lain. Kurangi kebencian di hati, berdamai dengan keadaan dan perbanyak memaafkan. Dengan begitu, setidaknya kita telah berusaha menebarkan cinta kasih-Nya di sisa usia.

Sidoarjo, 18 Januari 2017

Comments