December 2015 : Capturing The Moment


Mungkin kita akan bertemu banyak orang dalam setiap perjalanan, tapi hanya akan ada beberapa yang tersisa dalam kenangan.

Walk around, capturing the moment!

Barangkali aku sangat menyukai kegiatan traveling dan volunteering. Barangkali banyak orang yang iri karena aku bisa bebas melakukan hal yang dipilih. Barangkali sebagian orang berharap dapat memiliki jalan yang kupilih, atau mungkin pernah berpikiran nekad untuk resign dan mencoba jalan yang telah kulalui. Maka, kali ini aku ingin memberitahu kalian sekali lagi. Jangan tergiur atas apa yang kalian lihat. Yang nampak menyenangkan belum tentu kenyataannya demikian. Lakukan yang terbaik dengan jalan yang kalian pilih. Jangan keluar jalur hanya karena merasa jalan yang dipilih orang lain terlihat lebih menyenangkan.

Apa yang menjadi pilihanku seringkali dianggap aneh oleh orang kebanyakan, tapi pada akhirnya akan menjadi apa yang orang gemari. Namun, sekali lagi. Aku memilih apapun tanpa campur tangan orang lain. Ini semua murni dari hasil diskusi antara pikiran dan hati. Begitu pula ketika aku memiliki dua kegemaran yang sebenarnya bertolakbelakang. Dengan segala kemampuan yang kumiliki, aku menggabungkan keduanya menjadi sesuatu yang bermakna. Tentu dengan porsi yang sesuai dengan situasi dan kondisi.

Aku cukup sering mengikuti kegiatan volunteering. Entah sudah berapa kali. Hanya kegiatan yang cukup besar saja yang terpatri dalam otak ini. Iya, entah sejak kapan, otakku seolah menghapus hal-hal yang tidak cukup baik untuk diingat. Cukup kenangan baik saja yang terpatri. Dan ketika kegiatan volunteering aku lebih fokus pada kegiatan. Itulah kenapa, traveling dalam kondisi ini hanya sepersekian persen. Biasanya aku akan melakukan traveling pada saat-saat tertentu. Bersama orang-orang tertentu. Seperti yang pernah kulakukan pada akhir tahun 2015. Menjelang keberangkatanku ke Papua.

Saat itu menjelang pergantian tahun. Berawal dari ajakan dua junior di organisasi pecinta alam ketika SMA. Mereka yang sudah mengenalku cukup lama tentu paham, aku tak bisa diam di suatu tempat. Mereka pun mengikuti bagaimana perjalananku sampai detik ini. Dan kedua juniorku ini memintaku menemani mereka untuk rehat sejenak. Mereka sama seperti kalian yang sedang bertahan hidup. Sama seperti kalian yang kuliah sambil bekerja. Sama sepertiku. Sama-sama butuh waktu untuk mengistirahatkan otak sejenak.  Jogja menjadi pilihan, karena mereka tau aku cukup hapal daerah ini meskipun tidak menetap selama beberapa waktu.

Setelah menentukan waktu yang tepat, berangkatlah kami ke Jogja. KAI selalu menjadi pilihan yang tepat karena selain hemat, fasilitasnya juga sudah cukup oke. Sesampainya di sana, sudah ada Mbak Ebni yang siap menampung kami. Ah ya, aku lupa mengenalkan pada kalian. Dua juniorku ini bernama Mitha dan Lutfi. Sejujurnya, dua orang ini cukup bertolakbelakang. Mitha sangat cerewet dan riweh sedangkan Lutfi sedikit lebih pendiam. Sedikit ya, tolong digarisbawahi. Tapi, soal belanja, mereka sangat klop. Dan ya ada Mbak Ebni, aku sudah mengenalnya cukup lama. Sejak awal 2012. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Lain kali aku akan bercerita bagaimana kami bisa kenal dan sedekat sekarang.

(kanan ke kiri) Lutfi, Mitha, Me, Mbak Ebni.

Seperti biasa, saat sedang melakukan apapun, aku pasti sudah menyusun itinerary. Aku selalu begitu. Mempersiapkan segalanya secara detail. Sekalipun pada praktiknya akan ada beberapa yang melenceng. Sama seperti waktu itu. Jika tidak salah ingat, waktu itu aku mengagendakan untuk pergi ke Pantai Siung. Namun kami justru pergi ke Pantai Timang. Berbekal petunjuk dari maps, pergilah kami kesana. Yang tidak kami ketahui adalah akses menuju ke Pantai Timang tidak semulus akses menuju Pantai Siung. Ada jalanan desa yang harus kami lewati terlebih dahulu. Dan itu jaraknya cukup jauh. Jika tidak salah ingat mungkin antara 2-3 km dengan kondisi jalanan yang terjal dan berbatu. Sepanjang jalan mulut kami tidak hentinya komat kamit membaca shalawat. Karena jika tergelincir kami bisa terperosok ke semak-semak. Bukan apa-apa, waktu itu kami membawa motor sewaan. Puji syukur kami dapat melewati medan yang cukup ekstrim tersebut. Pemandangan sekitar pun membuat kami tak hentinya berdecak kagum.

Salah satu spot foto di Pantai Timang

Spot pemandangan Pantai Timang berada di ketinggian. Pantai ini terkenal karena memiliki kereta gantung tradisional yang awalnya digunakan nelayan lokal untuk menangkap udang. Siapa sangka jika pada akhirnya ini dapat menjadi daya tarik wisatawan. Saat itu kami tidak menjajal wahana tersebut. Karena biayanya cukup mahal, yaitu 300 ribu rupiah untuk satu orang. Bagi kami, nominal tersebut dapat digunakan untuk pergi mengunjungi tempat lain. Dan benar saja, sepulang dari Pantai Timang, kami langsung menuju Sadranan. Karena tidak afdol jika pergi ke pantai tapi tidak menginjak pasirnya.

Aku selalu suka menghabiskan waktu dengan beberapa orang saja. Sama seperti apa yang kulakukan dengan mereka bertiga. Tentu saja hanya dengan orang-orang tertentu. Orang-orang yang mengerti posisiku. Orang-orang yang tahu bagaimana aku berjuang dalam setiap detik yang ada di hidupku. Sehingga mereka tidak asal menyalahkan atas apa yang menjadi pilihanku. Dengan begitu, lebih terasa healing time-nya. Ya, aku selalu menggunakan traveling untuk healing time. Alasan yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang. Alasan yang baru kuceritakan sekarang. Saat aku melakukan traveling, saat itulah aku sedang berada di ujung kebimbangan atau mungkin, sedang berada di titik terendah. Itulah kenapa aku butuh ruang untuk melakukan diskusi dengan hati dan pikiranku.

Barangkali aku jarang berkeluh kesah di media sosial. Barangkali nampaknya aku bahagia dengan kebebasan yang aku punya. Namun satu yang barangkali kalian lupa, aku juga manusia biasa. Ada waktu-waktu tertentu yang kugunakan khusus untuk merekam kenangan-kenangan terbaik. Kenangan yang akan kuingat saat aku kehilangan arah. Kenangan yang akan membuatku menjadi lebih kuat untuk menghadapi setiap masalah. Jika kalian berpikir aku menghamburkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan ini, itu hak kalian. Karena yang sebenarnya adalah, ini caraku untuk sembuh dari luka-luka di masa lalu. Ini caraku untuk memaafkan semua orang yang pernah menyakitiku. Dengan menciptakan lebih banyak kenangan indah, lagi dan lagi.

Spreading tons of love for you.

Dan cerita kali ini khusus untuk adik Sukondus (ini panggilan sayangku untuk Mitha). Yang hari ini bertambah usia, yang sehari sebelum keberangkatanku ke Sulawesi meminta secara khusus kado sederhana ini. Guys, dia tidak meminta hal-hal yang aneh. Dia hanya meminta kado berupa tulisan di blog-ku. Having such as this person is really loveable. Aku bersyukur karena memiliki orang-orang terdekat yang seperti ini. Yang memerhatikan tanpa banyak bicara. Aku pun berusaha untuk menyanggupi apapun permintaan yang disampaikan dengan setulus hati. Tentu sesuai dengan kapasitas diri ini.

Dear Sukondus,
Aku gak akan minta banyak sama Allah. Aku cuma mau kamu bahagia dan sehat selalu. Dengan apapun yang jadi pilihanmu. Dan dengan siapapun yang kini menggenggam erat tanganmu. Kamu pasti masih inget kan apa yang kubilang waktu itu? Aku selalu ikut merasa bahagia, kalau kamu bahagia. Dek, barangkali aku belum bisa jadi Mbak yang baik. Aku gak ada di saat PLASMA lagi banyak masalah. Aku sibuk dengan kegiatanku di luar sana. Dan kamu sama yang lain yang ada disana. Terimakasih sudah berjuang sekeras tenaga, meskipun sampai sekarang PLASMA belum juga kembali berdiri tegak. Yang perlu kamu tahu adalah, semoga setiap cerita di hidupku bisa menguatkan hati dan pundakmu untuk menjalani hidup ini. You’ve doing great!


Comments