Toxic Family, Isu Parenting yang Sering Disepelekan

kekerasan pada anak
Masa kecil yang kerap dirindukan oleh banyak orang, justru menjadi masa yang paling nggak pengen aku ulang kembali. Masa dimana aku tidak memiliki keberanian, bahkan untuk melindungi diriku sendiri.

Halo, apa kabar? Udah lama juga ya, nggak nulis di sini. Semoga kalian baik-baik saja. Stay safe and healthy ya! Pandemi masih berlangsung, rumah sakit semakin penuh. Jaga diri sebaik mungkin.

Kali ini aku mau cerita tentang topik yang mungkin cukup sensitif. Yup, dari judulnya aja kalian pasti udah tahu. Toxic family. Keluarga "beracun"? Emang ada ya? Ada, tapi banyak yang memilih diam. Takut dibilang ini dan itu. Sebenernya aku udah lama mau sharing tentang ini, tapi baru bisa sekarang. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Hari ini aku cukup berani buat cerita. Semoga ya, cerita ini bisa menguatkan kamu di luar sana, yang juga mengalami hal yang sama.

Kadang beberapa teman pun khawatir ketika ingin berbagi hal-hal menyangkut keluarga. Cemas terhadap respon yang akan diterima. Takut dianggap mencemarkan nama baik dan sederet kekhawatiran yang lainnya. Aku pun sama. Sampai akhirnya bulan lalu aku menemukan sebuah postingan di instagram yang menulis tentang family is not "everything". Kamu bisa baca selengkapnya di sini..

toxic family, parenting

Ada banyak hal yang kadang membuatku merasa gak adil. Gak pernah ambil pusing soal setiap pilihan dalam hidup orang-orang di sekitarku misal. It just like you have full right to choose what kind of life you wanted to live in. Tapi orang lain dengan seenaknya menetapkan standar mereka di hidupku. I'm so sick about those kind of things. Semakin bertambah usia, semakin banyak tuntutan yang kita terima. Iya, memenuhi standar yang ditetapkan oleh lingkungan sekitar. Standar baik dan buruk, benar dan salah, yang bisa diterima atau ditolak. Aku pun sama.

Aku terlahir dalam sebuah pernikahan yang dibangun tanpa kesiapan untuk menjalin komitmen seumur hidup. Ibu dan ayahku dibesarkan di keluarga broken home. Keduanya sama-sama kekurangan kasih sayang, keduanya sama-sama mendapat kekerasan baik verbal maupun berupa tindakan. Dan bisa jadi, salah satu alasan menikah agar bisa keluar dari lingkungan tersebut. The worst thing is the same incident happened, abusive. Pola asuh yang diterima semasa kecil menjadi "warisan" yang kemudian diterapkan saat telah memiliki anak.

Masa kecil yang kerap dirindukan oleh banyak orang, menjadi masa yang paling nggak pengen aku ulang kembali. Masa dimana aku tidak memiliki keberanian, bahkan untuk melindungi diriku sendiri. Karena saat telah dewasa, rekaman yang tersimpan di alam bawah sadar bukanlah kenangan-kenangan masa kecil yang bahagia, melainkan kejadian traumatis yang kalau bisa pengen aku lupain selamanya. Iya, kalau seandainya sosok So mun di drama “The Uncanny Counter” itu ada, mungkin aku bakal minta dia buat hapus kenangan itu. Kenangan yang bikin aku bertanya, "Kenapa ya kok dulu aku diperlakukan seperti itu? Emang aku salah apa?"

Saat masih kecil anak tidak bisa memberikan respon macam-macam. Paling diam, menangis, berharap ada yang menolong. Hanya itu. Tanpa ia tahu sebab kenapa dimarahi? Kenapa dibentak-bentak? Melakukan kenakalan seperti apa hingga orangtua merasa berhak untuk memukul anaknya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang bergentayangan di kepalaku. Hingga akhirnya pada suatu kesempatan aku coba mengungkapkan seberapa besar pengaruh tindak kekerasan pada seorang anak, saat salah seorang saudaraku ada yang bertanya pendapatku tentang anaknya. Saat ini si anak sedang mondok, jadi tidak di rumah.

Saudaraku ini bercerita, saat berkunjung ke pesantren si anak berkata bahwa ia takut dengan ayahnya. Dikarenakan sebelumnya pernah beberapa kali dibentak dan dimarahi oleh ayahnya. Lalu aku pun mencoba memberikan pengertian berdasarkan dari literatur dan penjelasan dari psikolog yang kerap membahas tentang hal tersebut. Bahwa ingatan anak itu tajam, kejadian-kejadian buruk semasa kecil terutama yang berhubungan dengan kekerasan lebih teringat di alam bawah sadar. Maka dari itu, perlu untuk memberitahu si ayah agar tidak melakukan hal yang sama kembali. Karena jika masih tetap demikian, gak aneh kalau saat si anak sudah dewasa dan menikah kejadian tersebut akan terulang. Namun, saat aku memberikan penjelasan seperti itu, respon ibuku kurang lebih begini,
"Itu kan masa lalu. Semua orangtua kalau kesal mukulin anaknya ya wajar. Aku dulu juga begitu, tapi masak jadi dendam sama orangtua. Yang begitu dilupain aja, dimaafkan."
Dalam kasus seperti ini yang menjadi masalah bukan tentang memilih membenci atau memaafkan, obsesi atau mengubah diri, melainkan menemukan titik awal serta seberapa besar dampaknya terhadap kesehatan mental seseorang. Tentu saja perlu konsultasi dengan yang ahli di bidangnya, psikolog. Mirisnya, ketika isu kesehatan mental coba kita angkat, respon yang kerap diterima adalah penolakan untuk konsultasi pada ahli. Masyarakat pun kerap membenarkan bahwa, saat sedang kesal orangtua berhak melampiaskannya pada anak untuk me-release emosi mereka. Hal ini kudengar sendiri dari percakapan para orangtua. Fakta yang bikin makin miris.

Di samping itu, kesehatan mental gak jarang dikaitkan dengan lemahnya iman seseorang. Pun dengan hal-hal negatif lain yang menimpa kita. Aku lelah, doktrin ini telah mendarah daging.
"Semua yang ada di dunia ini ujian. Kita harus sabar, harus mau berubah dan mendekatkan diri pada Allah," 

Yang lebih ekstrim kualami pagi ini. Akhirnya aku mengatakannya secara langsung, meski sekujur tubuh rasanya bergetar minta ampun. Bahwa kekerasan yang terjadi saat masih kecil meninggalkan trauma tersendiri di alam bawah sadarku. Dan itu, di luar kendaliku. Respon ibuku bukan tertegun, atau meresapi kata-kataku, melainkan makin menjadi. Iya, tidak seperti di drama Korea memang. Dunia nyata ya demikian. Tahu responnya apa?

Trauma itu terjadi karena aku membesar-besarkan kejadian kecil yang tak perlu dibesar-besarkan. Orangtua marah memukul sekali dua kali itu wajar. Tapi yang terjadi padaku tidak sekali dua kali. Hingga besar pun kekerasan verbal terus terjadi. Namun tetap alasanku tidak diterima. Intinya tetap, aku dianggap berlebihan. Lalu terlontar contoh orang-orang di sekitarku yang memiliki trauma tapi tetap memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya. Dalam hati aku berkata, "Gak tau aja kalau yang disebutin itu kesehatan mentalnya juga terganggu”. Aku tahu, karena sepupuku ini pernah bercerita padaku.

Ya, aku dan beberapa sepupuku yang lahir dari bibit sama memiliki kejadian traumatis masing-masing. Ini yang menjadi alasan besar aku berani menulis tentang isu toxic family. Isu ini sungguh penting untuk disuarakan. Karena racunnya bisa menyebar kemana-mana. Dan gak jarang karena takut dianggap aneh atau gimana, sebagian orang memilih denial atau bersembunyi di balik topeng "aku baik-baik saja".

Hanya karena mereka memiliki komunikasi dengan orangtua, gak lantas bikin kesehatan mental mereka baik-baik saja. Gak lantas dengan diam dan menuruti apa kata orangtua, mendapat sebutan "anak baik" karena dianggap memenuhi standar yang diinginkan orangtua, lalu menjadikan luka itu sembuh begitu saja. Apa yang dipendam akan menjadi bom waktu, yang kita gak tahu kapan meledaknya. Perasaan dan emosi tersebut harus dikeluarkan pelan-pelan.

Saat aku menyarankan untuk konsultasi ke psikolog, aku udah nebak jawabannya adalah penolakan. Tapi aku tetap mencoba. Jawaban yang kudengar adalah "trauma itu setan". Sejak kapan trauma dan setan bisa digabungkan dalam satu kalimat? Di sini kurasa ada doktrin yang penangkapannya salah. Bukan ke psikolog, aku justru diajak untuk rukyah. Sampai di sini aku semakin gak habis pikir. It feels like I can't hold it anymore. Hence, I release my feeling, my emotion here. I hope everyone who read this will aware enough if it's important thing.

Saat orangtua mengatakan anaknya bodoh secara terus menerus, si anak akan percaya bahwa dia bodoh. Begitu pun dengan pernyataan-pernyataan negatif lainnya. Dampaknya adalah menurunkan rasa percaya diri anak dan hal-hal lain yang berpengaruh pada daya kembang anak.

Aku sering mendapat pernyataan jika “aku bukan anak yang berguna” atau “orangtuaku kecewa karena memiliki anak yang gak sesuai harapan”. Padahal aku dianugerahi IQ diatas rata-rata, dari kecil sering dapat beasiswa. Lepas SMA aku udah gak dapat jajan, aku biayai kuliahku sendiri. Pernah dikasih uang memang, tapi bukan untuk biaya hidup. Practically, sejak saat itu aku berusaha menanggung hidupku sendiri. Hingga detik ini. All the things I’ve done means nothing, because it doesn’t match with her expectations.

So, for my beloved friends who read this, especially those who got married. Please, be aware about this. Banyak sumber buat belajar ilmu tentang parenting. Biar bisa jadi orangtua yang lebih baik, andaikata kalian punya similar experience kayak aku. Ini bukan luka kegores pisau yang bakal sembuh kalau dikasih handsaplast. It takes time, dan durasinya bermacam-macam.

Aku hidup dengan luka tak kasat mata yang coba kuobati perlahan. Jadi heartless, minim atensi ke orangtua, aku membenarkannya. Sebagian dari kalian bakal mikir, kok bisa? Bisa, ini pertahanan yang kubangun agar tetap waras. Aku menghargai setiap napas yang Tuhan kasih ke aku. Makanya saat aku selalu mendapat pernyataan bahwa "aku bukan anak yang berguna" atau "orangtuaku kecewa karena memiliki anak yang nggak sesuai harapan", aku memilih menjadi berguna dengan caraku sendiri. Aku aktif kegiatan volunteering mulai dari skala regional sampai internasional. Sering berbagi info tentang hal-hal yang kuketahui dan kusukai. I do all of the things I liked to stay sane, to stay alive!

Sampai pada suatu ketika ada orang yang gak kukenal DM di instagram. Bilang kalau dia suka tulisan-tulisanku dan minta dikasih motivasi. Lalu, dia cerita tentang masalahnya. Bayangin aku gak kenal sama dia, tapi tulisanku bisa bangun trust diantara kami. Di kesempatan lain, ada orang asing lagi yang DM aku. Bilang kalau suka salah satu artikelku yang dimuat di IDN Times. Sebagian teman pun bilang terimakasih karena tulisan-tulisanku memberikan motivasi. Here it is! My new energy. You know, it means a lot!

Sekalipun berat dan kejadian buruk lainnya datang silih berganti, aku gak pernah kepikiran buat ngelakuin self harm atau menyakiti diri sendiri. I never wanted to destroyed my life. Aku sadar betul hidup ini berharga untuk diperjuangkan. Pun aku mau mewujudkan mimpi-mimpiku yang lain. Ketemu Jiyeong, teman baikku di Korea. Traveling bareng Thuy, teman EXO-L dari Vietnam, dan Fatin, teman EXO-L ku dari Malaysia. Pun mimpiku buat bikin travel agency bareng Hildha, biar kami bisa terus melakukan perjalanan tapi gak bingung duitnya dari mana.

See, I have so many dreams. Terlahir dari keluarga broken home gak lantas bikin aku kehilangan value. Buat kamu yang baca ini, yang juga mengalami hal sama, jangan menyerah ya! Kalau capek istirahat dulu. Kalau sedih ya sedih aja, jangan bersembunyi di balik senyuman atau di balik kalimat “aku baik-baik aja”. Memilih hidup sendiri pun bisa menjadi opsi, kalau secara finansial sudah mumpuni. It’s okay to set your boundaries. Tapi kalau belum bisa, ngelakuin hal-hal yang kamu suka selagi bertahan dengan lingkungan gak sehat, cukup membantu buat tetap waras. I did the same things.

Pandemi mungkin bikin kita merasa “terjebak” karena gak bisa kemana-mana. Ditambah lingkungan yang nggak mendukung. But still, pull yourself together. We deserve better life. Let’s stay alive, stay sane! At last, It’s okay to said, family is not “everything”.

Thank you for being strong

Thank you for being here

Please share it to everyone who needs their motivation back 

Big hugs! -dii-

Comments