Self Healing is All About Understanding Yourself

 


First thing to do self healing is understanding yourself. And it is a lifetime lesson we should did.

Beberapa waktu lalu sempat baca salah satu tweet yang seliweran di TL Twitter. Lumayan mengkesal bacanya. Intinya, ada seorang Maba (singkatan dari Mahasiswa Baru) yang ngerasa suntuk dan buntu gegara punya tugas bejibun. Dia mengeluh karena hal tersebut sampai gak bisa healing dan self reward. Bahkan sampai gak bisa chatting dengan bestie-nya :))) Sampai di situ aja aku udah wadeheeeel!!! :D

Dari kasus ini, aku ngerasa ada penyerapan informasi yang salah. Entah dari mana penyebab hal tersebut terjadi, tapi aku pun pernah salah persepsi tentang self healing meski case-nya berbeda. Aku sempat bahas masalah ini beberapa kali di akun Instagram pribadi. Kali ini aku mau sharing lebih dalam. Semoga nantinya apa yang aku ceritakan di sini bisa memberikan insight baru tentang self healing and how do I deal with that condition? Karena sampai sekarang pun aku masih belajar tentang hal ini.

Waktu itu, di tahun 2018, for the first time I thought I had to consult with psychologist. Kalau ditanya kenapa, trigger-nya sekilas keliatan simpel. Woah tapi ternyata ngaruh banget karena aku sampe down dan ngerasa bener-bener useless. Waktu itu pertengahan 2018, pas aku selesai volunteering event ASIAN Games 2018. Kalau di acara-acara kek gitu kan biasa, ya, ada Closing Ceremonial. Nah, semua bermula di situ. Saking banyaknya volunteer, gak semua bisa masuk di venue. Hanya sebagian yang dipilih, kriterianya pun gak transparan. Di situ, aku gak kepilih buat ikutan upacara penutupan.

Pas event berlangsung, bahkan sampai kelar, aku masih fine-fine aja. Baru pas balik ke tempat masing-masing, waktu itu aku tinggal di rumah Mbak Anggi, salah satu teman pas volunteering Ekspedisi NKRI 2016. Semua kejadian dan apa yang udah kulakuin rasanya kek video yang muter di otak. Banyak pertanyaan muncul seperti, "Aku udah kerja keras banget selama event berlangsung, bahkan sampai pingsan, saking bener-bener pengen ngasih yang terbaik. Tapi kenapa aku gak dikasih free pass buat masuk di venue? Apa yang udah aku lakuin gak worth it buat tim?'

Berawal dari situ, semua yang udah aku lakuin jadi berasa sia-sia. Keinget ucapan dari orangtua yang selalu nge-highlight kalau aku itu useless, omongan-omongan orang yang merasa kecewa pas aku gak kelar kuliah pun muncul juga. Kegiatan volunteering yang udah aku lakoni selama bertahun-tahun pun jadi kek gak ada artinya. Aku jadi mempertanyakan ke diri sendiri, "Apa aku udah salah pilih jalan hidup? Temen-temenku udah punya banyak pencapaian keren, aku kok gini-gini aja, ya? Habis ini aku mau ngapain?"

Kalau sampai self harm, alhamdulillah gak pernah, tapi kalau sampai mikir, "Aku pengen mati aja. Gak papa gak ketemu EXO juga. Toh, mereka juga gak tahu kalau aku hidup." Ya, aku pernah berpikir demikian. Padahal EXO itu support system terbesarku. Dan waktu itu, penyemangat terbesarku tentu saja ketemu mereka. Dari sini, jadi tau kan, seberapa berpengaruhnya hal yang terlihat sederhana "gak kepilih ikutan upacara penutupan" menyulut trigger yang sampai bikin seseorang hopeless.

Saat itu yang aku lakukan akhirnya pergi ke Jogja. Calming myself. Sebatas itu, tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya aku rasain. Aku ngerasa lebih baik. Aku berusaha meyakinkan diriku kalau apa yang terjadi itu mungkin karena lagi kacau aja. Selama di Jogja, aku jalan-jalan ke beberapa tempat. Ada yang berdua temen, ada yang pas sendirian. Gak lama dari Jogja, aku pergi ke Sulawesi. Lagi-lagi kedistraksi. Kejadian yang menyulut trigger itu gak pernah aku cari tahu lagi penyebabnya. Di tahun 2019 pun aku sibuk kerja. Pikiranku banyak dipakai fokus di pekerjaan.

Long story short, trigger lain muncul saat pandemik menyerang. Pembatasan aktivitas bikin aku kudu stay at home, which is not good for my mental health. Banyak kejadian traumatis yang terjadi semasa kecil. Tinggal bareng ortu isn't easy for me. Thus, I set my boundaries. Unfortunately, it turns out not good. Kejadian besar lainnya terjadi di awal 2021. Practically, aku tinggal di rumah ortu, but we had no conversation. Aku pun lebih sering di kamar aja sejak kamarku selesai di renovasi akhir 2020. Kalian mungkin bakal mikir, "Hah? Serumah tapi gak ngobrol? Kok bisaaa?"

Bisa, sangat bisa. Karena setiap keluarga memiliki starting point yang beda, kebiasaan yang berbeda. And that happened in my family. Dari kejadian besar itu, aku makin sering ngerasain ketakutan-ketakutan yang sebelumnya dengan intensitas lebih tinggi. Misalnya, derap langkah ibuku, pintu yang dibanting keras, suara-suara nada tinggi, pintu kamarku yang tiba-tiba dibuka, dll. Kalau salah satu hal itu terjadi, biasanya detak jantungku akan berpacu dengan cepat.

Dari kejadian berulang tersebut aku sadar bahwa selama ini aku belum benar-benar melakukan self healing. Yang aku lakukan hanya sebatas mencari bahan untuk mendistraksi otak dari memori menyakitkan yang tinggal.

Sadar diri menjadi langkah awal untuk melakukan self healing. Sadar apa yang kita rasain. Marah kah? Kecewa? Sedih atau apa? Menyadari emosi apa yang sedang kita rasakan dan menelusuri apa penyebabnya jadi langkah awal untuk menyembuhkan luka tak kasat mata. Gak bisa langsung tentu aja. Pelan-pelan, butuh proses. Aku pun sampai sekarang masih ke-trigger dan ngerasain takut. Bahkan hal itu sampai ngaruh ke performa kerjaku.

Di kuarter akhir 2021, aku dapet tawaran kerjaan jadi editor lepas di salah satu media online. Seneng banget rasanya karena ini salah satu kerjaan yang aku pengen banget di masanya. Jobdesc dan suasana kerjanya sangat nyaman. Pun manager-ku orangnya solutif tiap kali aku report ada kendala apa, selalu dikasih jalan keluar yang makes sense tanpa menyudutkanku. Di situ, aku merasa sangat bersyukur. Sayangnya, karena masih suka ke-trigger, aku sampai saat ini belum bisa mencapai target yang ditentukan. Gara-gara itu aku ngerasa ketinggalan dengan teman-teman editor lepas yang lain. Ngerasa payah banget padahal udah kerja selama hampir 5 bulan.

Selama beberapa bulan terakhir pun, aku coba telusuri. Selain kena trigger, kira-kira apa yang bikin aku belum bisa maksimal dalam bekerja? Targetnya terlalu berat kah? Atau ada faktor lainnya? Kadang bisa mendekati target. Kadang malah bengong depan laptop. Kalau gak gitu, naik turun beberapa kali dari tempat tidur ke meja kerja. Beruntungnya aku karena punya manager yang mau dengerin penjelasanku. Sebelumnya, aku dapet review kinerja. Cukup detail dengan bahasa yang komunikatif tapi tetap profesional. Waktu itu, alih-alih ngerasa terpojokkan atau gimana, aku malah nangis terharu karena merasa diperhatikan dengan dikasih review sedetail itu.

Di situ akhirnya aku cerita, kenapa aku bisa begitu. Penjelasanku diterima dengan baik. Even kontrak kerjaku diperpanjang. Sampai di titik ini, aku bersyukur dikasih lingkup kerja yang positif. Aku pun belajar banyak hal selama beberapa bulan terakhir. Sekalipun komunikasi kami secara virtual, tapi positive vibes-nya kerasa. Di tim kami ada sekitar 20-an orang editor lepas dan in house. Ngeliat semangat tiap orang setiap kali ada campaign atau project, rasanya jadi ikutan semangat, meski aku gak ikut andil di project tersebut.

Those spirit keeps me alive. Selama jadi editor, aku hepi banget bisa kasih review artikel yang masuk. Apa lagi kalau pas submit revisi, hasilnya sudah sesuai. Walau kadang ada yang harus dikasih revisi beberapa kali, tapi mengikuti proses seorang penulis baru yang kurang paham S&K sampai akhirnya sesuai ketentuan itu buatku another happiness. Thus, I wanna did this job for a long time. Rasanya seru bisa saling berbagi ilmu.

Begitu juga pas aku handling KPop Shop. Ngerasa bahagia rasanya pas bisa bantu customer dapetin barang yang dipengen. Pun knowledge tentang bahasa Korea yang aku punya jadi kepakai karena cukup sering pesan barang di web Korea. I loved both of my job. Sekarang yang harus dilakuin adalah merawat setiap luka tak kasat mata secara pelan-pelan sembari nemuin cara biar tetep semangat dan memenuhi target kerjaan.

Mungkin ini akan menjadi pekerjaan yang panjang. Tapi pas aku throwback, ternyata grafiknya selalu naik meski gak signifikan, sekilas emang keliatan stagnan. Yang perlu aku lakuin adalah terus bergerak. Sampai di satu titik, mungkin aku perlu lari sesekali. Temponya mungkin beda sama orang lain, it's okay. Kan tiap orang tujuannya beda-beda. I do believe, if I didn't stop to run, it's not impossible to reach the finish.

Comments