When I'm in 30's and Single, This is How I feel...

Mereka yang ekstrover lebih rentan merasa sepi, tapi kadang sering tak disadari

Dalam sebuah pertemanan aku tidak pernah mematok apa-apa, tapi aku sadar bahwa dalam sebuah hubungan, apapun jenisnya, aku tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Saat sedang bekerja, aku selalu totalitas dan kadang merasa punya tanggung jawab lebih jika memiliki posisi yang lebih krusial dibandingkan teman yang lainnya. Aku gak segan beristirahat lebih sedikit, mengerjakan lebih banyak, dan mencoba memahami lebih sering.

At some points, it makes me exhausted. Sisi dari diriku yang mungkin dalam beberapa hal perlu diubah adalah jangan menggunakan semua kemampuan yang dimiliki. Karena belum tentu orang lain bersedia membayar kemampuan tersebut dengan layak. Tidak sedikit pihak yang lebih merasa superior, tapi dalam waktu yang sama akan merasa inferior begitu tahu bahwa kita memiliki kemampuan yang lebih. That's life. The only one thing we can do is survive.

Di usia ku yang akan menginjak 31 tahun ini, tentu aja bukan usia untuk menjadi kutu loncat dan mencoba berbagai jenis pekerjaan lagi. I already gain experience and improve my skills for years. I know my expertise, my lack, my passion, my strength. Thus, I decide what I want to do. And I know every decision come with risks. 

Beberapa waktu lalu, saat aku sedang ngobrol di Kakao dengan Ji-yeong, temanku di Seoul, ada topik yang seolah menyadarkanku. Ini bermula saat Ji-yeong berkata jika dia iri karena aku bisa bekerja dari rumah. Lalu kutimpali bahwa tidak ada yang menyenangkan dari bekerja dari rumah karena sebenarnya aku tipikal orang yang harus bekerja sambil berinteraksi dengan banyak orang.

Dan bagian ini seolah menamparku, "Bekerja sendirian itu kadang bikin kita ngerasa kesepian, ya?" That's totally true. Apalagi bagi seorang ekstrover seperti aku. Kadang saat sudah mentok pun aku tidak bisa sambat ke teman-teman satu tim. Kalau udah mentok paling nangis sendirian saking banyaknya yang harus dikerjain. Apalagi tempat ku bekerja sekarang tergolong small business yang sistem manajemennya baru membaik saat aku terjun di dalamnya.

Saat mengetahui sistem manajemennya masih semrawut, aku tahu aku punya pilihan untuk meninggalkan, but I can't. Apalagi sekarang aku sudah punya tim. I just can not leave them behind. Karena aku tahu akan seberapa chaos-nya nanti jika posisiku kosong. Tapi di satu sisi, kadang capek juga. Moreover, i need to earning more. Kalau pas kudu ngirit aku bisa puasa, tapi 9 anabul ku enggak mungkin puasa juga, kan?

Kalau udah overthinking aku sering berpikir, banyak yang lebih muda dari aku tapi berpenghasilan lebih banyak dengan skill yang biasa-biasa aja. Atau ada yang bekerjanya biasa-biasa saja, tapi penghasilannya melimpah. Aku dari usia belasan udah kerja enggak pernah setengah-setengah tapi masih seperti sekarang. Kira-kira saat ini aku sedang diuji atau gimana, ya?

They said, "Don't tried to catch the money, it will running!"

Pernyataan itu jadi sebuah renungan. Mungkin aku gitu kali, ya? Idk actually. Karena aku merasa biasa aja. Hmm, kalau sudah begini baru kerasa enggak ada teman buat berbagi keluh kesah. I didn't said I don't have a friend. Aku punya banyak teman, tapi kalau harus meminta mereka meluangkan waktu lebih itu rasanya too much. Kadang kalau sudah mentok mau cerita, mungkin jadinya hanya sepenggal-sepenggal. Ceritaku tidak pernah utuh. Waktu yang tersedia bersama kawan terbatas, karena mereka sudah punya prioritas lain.

Yang sering terjadi adalah aku tidak jadi menceritakan keluh kesahku karena lebih seringnya aku terlebih dahulu mendengarkan permasalahan orang-orang di sekitarku. That's how I keep it for myself. Kadang aku merasa, aku bisa menjadi pendengar yang baik, tapi aku sulit mendapatkan tempat untuk menampung ceritaku dengan baik. Aku ini terlalu selfless atau bagaimana, ya? Pertanyaan ini harus kucari jawabannya.

Akhir-akhir ini pikiranku lumayan stuck. Pekerjaan lumayan padat. Sedangkan di rumah ayah ku sudah 3 tahun enggak bekerja. Rasanya mumet tiap kali mendengar ibuku menanyakan hal yang sama kepada ayahku. Kalau sudah empet, biasanya aku memilih bekerja di kafe sambil melihat orang lain beraktivitas.

Oh ya, bagusnya bagaimanapun sikon di sekitar, aku tetap bisa diajak bekerja dengan baik. Performa ku tidak menurun meskipun harus mengerjakan banyak hal di waktu yang sama. Ditambah masih harus training tim baru. Bedanya sekarang lebih cepat capek aja kadang. That's a sign for recharge my energy. Makanya aku decide buat solo trip dalam beberapa hari ke depan. I need to interact with many people and gain energy again.

At the end, I didn't said I'm 30 and not happy. I just realize if I need someone to sharing more and discuss with. Just it.

Comments